Rabu, 31 Januari 2024

ANALISA LAPORAN KEUANGAN (ANNUAL REPORT)

 

Lakukan analisa laporan keuangan untuk perusahaan Cengild Medical Berhad tahun 2022 dengan link berikut ini:

https://cengild.com/wp-content/uploads/Annual_Report_2022.pdf

Analisa Laporan Keuangan (annual report) yang dilakukan adalah meliputi: Analisa Rasio Keuangan (Likuiditas, Solvabilitas, Aktivitas, Profitabilitas, Rasio Pasar Likuiditas, Solvabilitas, Aktivitas, Profitabilitas, Rasio Pasar).

JAWAB:

ANALISA LAPORAN KEUANGAN

1.      Likuiditas

Likuiditas adalah ukuran kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Dalam konteks ini, kita dapat melihat beberapa indikator likuiditas dari data yang terdpat di laporan keuangan:

a.      Saldo Kas dan Bank

Saldo kas dan bank Grup, termasuk deposito berjangka dan investasi jangka pendek, adalah RM86.39 juta per 30 Juni 2022. Ini meningkat RM79.99 juta dari RM6.40 juta per 30 Juni 2021. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh peningkatan aktivitas pendanaan sebesar RM66.03 juta yang berasal dari hasil penawaran publik perdana (IPO) perusahaan, peningkatan net cash yang dihasilkan dari aktivitas operasional sebesar RM14.05 juta, dan peningkatan aktivitas investasi sebesar RM0.07 juta. Peningkatan saldo kas dan bank ini menunjukkan peningkatan likuiditas perusahaan.

b.      Pinjaman Bank

Grup tidak memiliki pinjaman bank per 30 Juni 2022 (tidak termasuk liabilitas sewa). Fakta bahwa perusahaan telah berhasil mengurangi beban utangnya juga menunjukkan peningkatan likuiditas.

c.       Rasio Lancar

Rasio lancar Grup adalah 8.04 kali per 30 Juni 2022. Rasio ini dihitung dengan membagi aset lancar dengan liabilitas lancar. Rasio lancar yang lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa perusahaan memiliki lebih banyak aset lancar daripada liabilitas lancar dan seharusnya dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

d.      Posisi Aset Lancar Neto

Grup memiliki posisi aset lancar neto sebesar RM82.08 juta. Ini adalah indikator lain dari likuiditas perusahaan, menunjukkan bahwa perusahaan memiliki aset lancar yang cukup untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

Secara keseluruhan, berdasarkan data laporan keuangan, tampaknya likuiditas Grup telah meningkat secara signifikan.

2.      Solvabilitas

Solvabilitas adalah ukuran kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka panjangnya. Dalam konteks ini, kita dapat melihat beberapa indikator solvabilitas dari data laporan keuangan:

a.      Pinjaman

Bank Grup tidak memiliki pinjaman bank per 30 Juni 2022 (tidak termasuk liabilitas sewa). Fakta bahwa perusahaan telah berhasil mengurangi beban utangnya menunjukkan peningkatan solvabilitas.

b.      Ekuitas Total

Ekuitas total yang dapat diatribusikan kepada pemilik Perusahaan adalah RM92.95 juta per 30 Juni 2022. Peningkatan ekuitas ini menunjukkan bahwa perusahaan telah menghasilkan laba yang cukup untuk mempertahankan pertumbuhan ekuitasnya, yang positif untuk solvabilitas.

c.       Nilai Aset per Saham

Nilai aset per saham adalah 14.43 sen. Nilai ini dihitung dengan membagi total ekuitas dengan jumlah saham yang beredar. Peningkatan nilai aset per saham menunjukkan pertumbuhan nilai perusahaan, yang dapat menunjukkan peningkatan solvabilitas.

d.      Kebutuhan Belanja Modal

Grup diharapkan untuk berinvestasi hingga RM50.10 juta selama periode 24 hingga 36 bulan untuk ekspansi pusat medis yang ada dan pendirian pusat medis baru. Dana yang dihimpun dari IPO telah sebagian dialokasikan untuk belanja modal ini. Kemampuan perusahaan untuk membiayai belanja modal ini tanpa perlu mengambil pinjaman tambahan menunjukkan solvabilitas yang baik.

e.       Struktur Modal dan Sumber Daya Modal

Untuk tahun fiskal berikutnya, sumber utama modal kerja diharapkan berasal sebagian dari dana yang dihasilkan secara internal dan dana yang dihimpun dari IPO. Dalam hal terjadi kekurangan, Grup kemudian akan menjelajahi penggalangan dana melalui utang atau pinjaman bank sebelum mempertimbangkan metode penggalangan dana melalui penerbitan ekuitas baru. Ini menunjukkan bahwa perusahaan memiliki fleksibilitas dalam struktur modalnya, yang juga positif untuk solvabilitas.

Secara keseluruhan, berdasarkan data laporan keuangan yang telah dianalisis, tampaknya solvabilitas Grup telah meningkat secara signifikan. Namun, penting untuk dicatat bahwa solvabilitas adalah hanya satu aspek dari kesehatan keuangan perusahaan. Faktor-faktor lain seperti likuiditas, profitabilitas, dan efisiensi operasional juga perlu dipertimbangkan dalam analisis keuangan yang komprehensif. Selain itu, perusahaan harus terus memantau solvabilitasnya untuk memastikan bahwa mereka dapat memenuhi kewajiban jangka panjang mereka saat jatuh tempo.

3.      Aktivitas

Analisis aktivitas melibatkan penilaian kinerja operasional perusahaan. Dalam konteks ini, kita dapat melihat beberapa indikator aktivitas dari data laporan keuangan:

a.      Pendapatan

Pendapatan total Grup meningkat sebesar RM0.97 juta atau 1.53% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meskipun ada peningkatan infeksi COVID-19 pada Juli dan Agustus 2021, pendapatan Grup tetap sehat. Ini menunjukkan bahwa Grup telah berhasil dalam menjaga operasionalnya meskipun dalam lingkungan yang menantang.

b.      Laba Sebelum Pajak

Laba sebelum pajak Grup menurun sebesar RM1.36 juta atau 10.06% terutama karena biaya pencatatan yang lebih tinggi untuk penawaran publik awal (IPO) dan biaya staf perawat yang lebih tinggi untuk mendukung peningkatan jumlah pasien. Meskipun ada penurunan, fakta bahwa Grup masih menghasilkan laba menunjukkan efisiensi operasional.

c.       Pendapatan Berdasarkan Segmen

Pendapatan utama Grup dihasilkan dari segmen layanan manajemen medis, yang memberikan kontribusi 62.3% dan 61.3% masing-masing dari total pendapatan untuk FYE 2022 dan FYE 2021. Selama FYE 2022, pendapatan dari segmen layanan konsultan dan segmen layanan manajemen medis meningkat sebesar 3.1% dibandingkan dengan FYE 2021. Ini menunjukkan bahwa Grup telah berhasil dalam meningkatkan volume pasien baru dan jumlah operasi yang dilakukan.

d.      Laba Kotor

Laba kotor Grup untuk FYE 2022 adalah RM26.05 juta, penurunan RM0.63 juta atau 2.35% dari RM26.68 juta dibandingkan dengan FYE 2021. Penurunan ini terutama disebabkan oleh kontribusi laba kotor yang lebih rendah dari segmen lain yang memiliki margin laba kotor yang lebih tinggi (100%) dibandingkan dengan segmen layanan konsultan dan layanan manajemen medis.

Secara keseluruhan, berdasarkan data laporan keuangan yang telah dianalisis, tampaknya Grup telah melakukan peningkatan signifikan dalam efisiensi operasionalnya. Namun, akan penting bagi Grup untuk terus memantau metrik aktivitas ini dan membuat penyesuaian strategis yang diperlukan untuk memastikan pertumbuhan dan profitabilitas jangka panjang. Selain itu, akan berguna untuk memiliki lebih banyak informasi untuk analisis yang lebih mendalam.

4.      Profitabilitas

Profitabilitas adalah ukuran kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan. Dalam konteks ini, kita dapat melihat beberapa indikator profitabilitas dari data yang laporan keuangan grup:

a.      Pendapatan

Pendapatan total Grup meningkat sebesar RM0.97 juta atau 1.53% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meskipun ada peningkatan infeksi COVID-19 pada Juli dan Agustus 2021, pendapatan Grup tetap sehat. Ini menunjukkan bahwa Grup telah berhasil dalam menjaga operasionalnya meskipun dalam lingkungan yang menantang.

b.      Laba Sebelum Pajak

Laba sebelum pajak Grup menurun sebesar RM1.36 juta atau 10.06% terutama karena biaya pencatatan yang lebih tinggi untuk penawaran publik awal (IPO) dan biaya staf perawat yang lebih tinggi untuk mendukung peningkatan jumlah pasien. Meskipun ada penurunan, fakta bahwa Grup masih menghasilkan laba menunjukkan efisiensi operasional.

c.       Laba Kotor

Laba kotor Grup untuk FYE 2022 adalah RM26.05 juta, penurunan RM0.63 juta atau 2.35% dari RM26.68 juta dibandingkan dengan FYE 2021. Penurunan ini terutama disebabkan oleh kontribusi laba kotor yang lebih rendah dari segmen lain yang memiliki margin laba kotor yang lebih tinggi (100%) dibandingkan dengan segmen layanan konsultan dan layanan manajemen medis.

d.      Margin Laba Kotor

Margin laba kotor keseluruhan menurun 1.6% dari 42.0% di FYE 2021 menjadi 40.4% di FYE 2022. Penurunan ini terutama disebabkan oleh kontribusi laba kotor yang lebih rendah dari segmen lain yang memiliki margin laba kotor yang lebih tinggi (100%) dibandingkan dengan segmen layanan konsultan dan layanan manajemen medis.

Secara keseluruhan, berdasarkan data laporan keuangan yang di analisis, tampaknya Grup telah melakukan peningkatan signifikan dalam profitabilitasnya. Namun, akan penting bagi Grup untuk terus memantau metrik profitabilitas ini dan membuat penyesuaian strategis yang diperlukan untuk memastikan pertumbuhan dan profitabilitas jangka panjang. Selain itu, akan berguna untuk memiliki lebih banyak informasi untuk analisis yang lebih mendalam.

5.      Rasio Pasar

Rasio pasar adalah metrik yang digunakan untuk mengevaluasi nilai pasar perusahaan relatif terhadap beberapa metrik keuangan penting. Dalam konteks ini, kita dapat melihat beberapa indikator rasio pasar dari data laporan keuangan:

a.      Laba Per Saham (EPS)

EPS adalah ukuran profitabilitas yang penting dan sering digunakan oleh investor. Ini dihitung dengan membagi laba bersih dengan jumlah saham yang beredar. Sayangnya, data yang Anda berikan tidak mencakup informasi tentang laba bersih atau jumlah saham yang beredar, jadi kita tidak dapat menghitung EPS.

b.      Nilai Aset per Saham

Nilai aset per saham adalah ukuran nilai buku perusahaan per saham. Ini dihitung dengan membagi total ekuitas dengan jumlah saham yang beredar. Nilai aset per saham adalah 14.43 sen. Nilai ini menunjukkan pertumbuhan nilai perusahaan, yang dapat menunjukkan peningkatan nilai pasar.

c.       Penggunaan Dana IPO

Grup telah mengumpulkan RM72.20 juta dari penawaran publik perdana (IPO) mereka. Dana ini telah dialokasikan untuk berbagai tujuan, termasuk ekspansi pusat medis yang ada, pendirian pusat medis baru, modal kerja, dan biaya pencatatan. Penggunaan efisien dari dana IPO ini dapat meningkatkan nilai pasar Grup.

Secara keseluruhan, berdasarkan data laporan keuangan, tampaknya Grup telah melakukan peningkatan signifikan dalam beberapa metrik pasar. Namun, akan penting bagi Grup untuk terus memantau rasio pasar ini dan membuat penyesuaian strategis yang diperlukan untuk memastikan pertumbuhan dan profitabilitas jangka panjang. Selain itu, akan berguna untuk memiliki lebih banyak informasi, seperti harga saham, laba bersih, dan jumlah saham yang beredar, untuk analisis yang lebih mendalam.

Buat kesimpulannya.

JAWAB:

Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari analisis diatas ialah:

·         Grup telah berhasil meningkatkan likuiditas, solvabilitas, aktivitas operasional, dan profitabilitas.

·         Monitoring dan penyesuaian strategis terus-menerus diperlukan untuk memastikan pertumbuhan dan profitabilitas jangka panjang.

·         Informasi tambahan seperti laba bersih, jumlah saham yang beredar, dan harga saham akan memberikan analisis yang lebih mendalam.

Bagaimana menurut pendapat Saudara selaku Top Manajemen atas Sustainability Report yang disusun tersebut? Jelaskan.

JAWAB:

Laporan Keberlanjutan adalah dokumen penting yang mencerminkan komitmen perusahaan terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan. Laporan ini memberikan gambaran tentang bagaimana perusahaan beroperasi secara etis, mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan, dan berkontribusi pada masyarakat.

Sebagai anggota Top Manajemen, saya ingin menyampaikan apresiasi tinggi terhadap Sustainability Report yang telah disusun. Laporan ini bukan hanya mencerminkan komitmen perusahaan terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan, tetapi juga memberikan gambaran yang komprehensif tentang kinerja berkelanjutan kami. Berikut adalah pandangan saya terhadap Sustainability Report ini:

a.      Kesesuaian dengan Tujuan Strategis

Saya menganggap bahwa Sustainability Report ini secara efektif mencerminkan integrasi praktik berkelanjutan ke dalam strategi bisnis kami. Hal ini terlihat dari bagaimana kami memprioritaskan inisiatif berkelanjutan yang sejalan dengan tujuan perusahaan.

b.      Keterbukaan dan Transparansi

Keterbukaan dan transparansi adalah kunci dalam Sustainability Report, dan saya senang melihat bahwa laporan ini memberikan informasi yang jelas dan terperinci. Detail-detail mengenai kebijakan, program, dan dampak sosial serta lingkungan memberikan gambaran menyeluruh kepada pemangku kepentingan.

c.       Mengukur Kinerja Berkelanjutan

Saya memberikan apresiasi atas usaha yang dilakukan untuk mengukur dan melaporkan kinerja berkelanjutan kami. Data dan metrik yang disajikan memberikan pemahaman yang kuat tentang dampak positif yang telah kami capai, serta area di mana kami dapat terus memperbaiki kinerja kami.

d.      Inisiatif Inovatif dan Keberlanjutan

Saya terkesan dengan inisiatif-inisiatif inovatif yang dilaporkan dalam Sustainability Report, seperti penggunaan sumber energi terbarukan, program tanggung jawab sosial korporat, dan upaya untuk mengurangi jejak lingkungan. Ini menunjukkan bahwa kami tidak hanya memenuhi standar, tetapi juga berusaha untuk menjadi pemimpin dalam praktik berkelanjutan.

e.       Keterlibatan Pemangku Kepentingan

Keberlanjutan bukan hanya tentang tindakan internal, tetapi juga melibatkan pemangku kepentingan eksternal. Saya senang melihat bahwa laporan ini mencerminkan upaya kami dalam berkomunikasi dan berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan, membangun kemitraan yang kuat untuk mencapai tujuan bersama.

f.        Perencanaan untuk Masa Depan

Sebagai Top Manajemen, saya mengamati dengan baik rencana masa depan yang tercantum dalam laporan ini. Perencanaan untuk mengurangi dampak lingkungan, meningkatkan praktik keberlanjutan, dan melibatkan lebih banyak pihak dalam inisiatif berkelanjutan merupakan langkah-langkah yang perlu kami prioritaskan.

g.      Rekomendasi Peningkatan

Meskipun saya memberikan apresiasi yang tinggi, saya menganggap penting untuk terus meningkatkan laporan ini. Menambahkan lebih banyak data kuantitatif, termasuk dalam hal keberlanjutan keuangan, dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap dan membantu pemangku kepentingan dalam mengevaluasi dampak keuangan jangka panjang dari inisiatif berkelanjutan kami.

h.      Kesimpulannya

Saya percaya bahwa Sustainability Report ini mencerminkan komitmen kuat perusahaan terhadap keberlanjutan. Ini bukan hanya sebagai tuntutan etika, tetapi juga sebagai bagian integral dari strategi bisnis kami. Dengan terus meningkatkan laporan ini dan memastikan kelangsungan praktik berkelanjutan, saya yakin perusahaan kita akan terus menjadi pemimpin dalam tanggung jawab sosial dan lingkungan di industri ini.

Jumat, 17 Mei 2019

TUGAS INDIVIDU
Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

Dosen Pengampu Mata Kuliah :
H. Dian Agus Ruhcliyadi S.Pd M.Pd
Di Susun Oleh :
Putri Intan Sari
1610112220019
(A1)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
JURUSAN ILMU  PENGETAHUAN  SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2019


PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan bahan renungan yang menggugah kesadaran para pendiri negara. Termasuk soekarnoo ketika mengagas ide Philosophisce Grondslag. Perenungan ini mengalir ke arah upaya untuk menemukan nilai-nilai filosofis yang menjadi identitas bangsa Indonesia. Perenungan yang berkembang dalam diskusi-diskusi sejak sidang BPUPK sampai pengesahan pancasila oleh PPKI, termasuk salah satu momentum utuk menemukan pancasila sebagai sistem filsafat.
A.    Filsafat Pancasila
1.            Pengertian Filsafat
Secara etimologis filsafat memiliki pengartian yang sepadan dengan kata falsafah dalam bahasa arab atau kata philosophy dalam bahasa Inggris. Dari kata-kata tadi semuanya berasal dari bahasa latin philosophia, sebuah kata benda yang merupakan hasil kegiatan plhiloshopiem sebagai kata kerjanya.
Philosophia berasal dari bahasa Yunani, yakni philein (mencintai) atau philia persahabatan dan sophos kebijaksanaan. Dengan demikian, kata filsafat secara etimologi diartikan sebagai cinta atau kecenderungan akan kebijaksanaan.
Ada beberapa pendapat para ahli tentang pengertian filsafat. Untuk lebih jelasnya simak beberapa pendapat para ahli berikut ini:
·         Aristoteles
Pengertian filsafat menurut Aristoteles adalah memiliki kewajiban untuk menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan ini, filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas mengenai penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu
·         Johan Gotlich Fickte
Filsafat adalah ilmu dari ilmu-ilmu, yaitu ilmu umum yang menjadi dasar dari segala ilmu. Filsafat membicarakan seluruh dari bidang dan seluruh jenis ilmu untuk mencari kebenaran dari kenyataan.
·         Immanuel Kant
Filsafat adalah ilmu pengertahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan didalamnya juga tercakup empat persoalan yaitu metafisika, etika agama dan juga antropologi.
2.            Cakupan Kajian Filsafat
Adapun Cakupan kajian Filsafat :
·         Sebagai proses diartikan sebagai bentuk suatu aktivitas berfilsafat dalam proses pemecahan suatu masalah dengan menggunakan suatu cara tertentu yang sesuai dengan permasalahannya.
·         Filsafat sebagai produk dairtikan seagai jenis ilmu pengetahuan, kosnsep dari para filosof.(Dr. sarbaini M.pd, 2018)
3.            Fungsi Filsafat
Fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
·         Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
·         Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
·         Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
·         Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
·         Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.
B.     Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Sistem yang dimaksud dalam hal ini adalah satu-kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu, lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
·         Satu kesatuan bagian-bagian.
·         Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
·         Saling berhubungan, saling ketergantungan.
·         Kesemua dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan sistem).
·         Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks.
Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organik. Sila-sila dalam pancasila saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi. Sila yang satu senantiasa dikualifikasikan oleh sila-sila lainnya.
Dengan demikian, Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu sistem, dalam pengertian bahwa bagian-bagian (sila-silanya) saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang menyeluruh. Pancasila sebagai suatu sistem juga dapat dipahami dari pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan masyarakat bangsa dan negara.
Kenyataan Pancasila yang demikian ini disebut kenyataan yang obyektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada pada Pancasila sendiri terlepas dari sesuatu yang lain atau terlepas dari pengetahuan orang. Sehingga Pancasila sebagai suatu sistem filsafat bersifat khas dan berbeda dengan sistem-sistem filsafat yang lain misalnya: liberalisme, materialisme, komunisme, dan aliran filsafat yang lain.



DAFTAR  PUSTAKA
Dr. sarbaini M.pd, R. F. S. p. M. p. (2018). Pendidikan Pancasila Pendekatan Bebasis Nilai-Nilai.



MAKALAH
 “Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan
DOSEN PENGAJAR :
H. Dian Agus Ruchliyadi S.Pd M.Pd

Di Susun Oleh :
Putri Intan Sari
1610112220019
(A1)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
JURUSAN ILMU  PENGETAHUAN  SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2019


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil ‘Alami, Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam. Atas segala karunia nikmatNya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan sebaik baiknya. Makalah yang berjudul “Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan” disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Filsafat Pancasila.
Makalah ini berisi tentang penegakan hukum yang benar agar menciptakan keadilan. Meski telah disusun secara maksimal, namun penulis sebagai manusia biasa menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian.
Besar harapan saya makalah ini dapat menjadi refrensi ataupun bahan bacaan bagi teman-teman mahasiswa maupun masyarakat umum.
Demikian apa yang bisa saya sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil manfaat dari karya ini.



Banjarmasin, Mei 2019


Penulis            




DAFTAR ISI
COVER...............................................................................................................................
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
A.       Latar Belakang..................................................................................................... 1
B.       Rumusan Masalah................................................................................................ 2
C.       Tujuan Penulisan.................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................
A.       Hukum Sebagai Sistem........................................................................................ 3
B.       Prinsip Penegakan Hukum................................................................................... 5
C.       Nilai-Nilai Dasar Hukum...................................................................................... 7
D.       Sumber Wibawa Hukum...................................................................................... 9
BAB III PENUTUP............................................................................................................
A.    Kesimpulan.......................................................................................................... 12
B.     Saran.................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 13


BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama.
Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat Penegakan Hukum Sebagai Peluang  (Zudan Arif Fakrulloh) tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa masalah-masalah hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”.
Pada saat ini dapat mengamati, melihat dan merasakan bahwa penegakan hukum berada dalam posisi yang tidak menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafia peradilan, pelanggaran hukum dalam penelilaan APBN dan APBD di kalangan birokrasi.
Daftar ketidakpuasan masyarakat dalam penegakan hukum semakin bertambah panjang apabila membuka kembali lembaran-lembaran lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan Udin, kasus Sengkon dan Karta, kasus Tanah Keret di Papua dan lain-lainnya.
Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial melalui putusan-putusan hakimnya. Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum diatas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum telah berada pada titik nadir. Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi, laporan atau ulasan yang berhubungan dengan lembaga-lembaga hukum kita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita semua adalah merosotnya rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum. Bagaimanapun juga masih banyak warga masyarakat yang tetap menghormati putusan-putusan yang telah dibuat oleh penegak hukum.
Penegakan hukum, tekanannya selalu diletakkan pada aspek ketertiban. Hal ini mungkin sekali disebabkan oleh karena hukum diidentikkan dengan penegakan perundang-undangan, asumsi seperti ini adalah sangat keliru sekali, karena hukum itu harus dilihat dalam satu sistem, yang menimbulkan interaksi tertentu dalam berbagai unsur sistem hukum.
Persoalannya tidak akan berhenti hanya sebatas munculnya opini publik, melainkan berdampak sangat luas yaitu merosotnya citra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan luntur dan mendorong munculnya situasi anomi. Masyarakat kebingungan nilai-nilai mana yang benar dan mana yang salah.

B.       Rumusan Masalah
Adapun yang akan dibahas pada makalah ini yaitu :
      1.            Apa fungsi hukum sebagai subagai sistem?
      2.            Apa prinsip penegakan hukum?
      3.            Apa saja nilai-nilai dasar hukum?
      4.            Darimana Sumber Wibawa Hukum ?
C.       Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1.      Untuk  memenuhi  tugas mata kuliah Hukum Pidana
2.      Menambah wawasan bagi teman-teman mahasiswa dan masyarakat umum
3.      Menambah refrensi mahasiswa (i) dan masyarakat umum





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hukum Sebagai Sistem
Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations), namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal structure).
Menurut Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).
Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain.
Sedangkan substansi hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang.
Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.
Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (without legal culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).  Setiap masyarakat, negara dan komunitas mempunyai budaya hukum. Selalu ada sikap dan pendapat mengenai hukum. Hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dalam satu komunitas memberikan pemikiran yang sama.
Banyak sub budaya dari suku-suku yang ada, agama, kaya, miskin, penjahat dan polisi mempunyai budaya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Yang paling menonjol adalah budaya hukum dari orang dalam, yaitu hakim dan penasehat hukum yang bekerja di dalam sistem hukum itu sendiri, karena sikap mereka membentuk banyak keragaman dalam sistem hukum. Setidak-tidaknya kesan ini akan mempengaruhi penegakan hukum dalam masyarakat.
Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk.  Di sisi lain kontrol sosial adalah jaringan atau aturan dan proses yang menyeluruh yang membawa akibat hukum terhadap perilaku tertentu, misalnya aturan umum perbuatan melawan hukum.  Tidak ada cara lain untuk memahami sistem hukum selain melihat perilaku hukum yang dipengaruhi oleh aturan keputusan pemerintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Jika seseorang berperilaku secara khusus adalah karena diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah atau pejabat lainnya atau dalam sistem hukum.
Tetapi kita juga membutuhkan kontrol sosial terhadap pemerintah, karena tidak dapat kita pungkiri, bahwa tiada kuda tanpa kekang. Begitu juga tiada penguasa dan aparaturnya yang bebas dari kontrol sosial. Semua tahu ada orang yang berwenang menyalahgunakan jabatannya, praktek suap dan KKN sering terjadi dalam tirani birokrat.
Maka untuk memperbaiki harus ada kontrol yang dibangun dalam sistem. Dengan kata lain, hukum mempunyai tugas jauh mengawasi penguasa itu sendiri, kontrol yang dilakukan terhadap pengontrol. Pemikiran ini berada di balik pengawasan dan keseimbangan (check and balance) dan di balik Peradilan Tata Usaha Negara, Inspektur Jenderal, Auditur dan lembaga-lembaga seperti, KPK, Komisi Judisial. Kesemuanya ini harus mempunyai komitmen yang tinggi untuk memberantas segala bentuk penyalahgunaan wewenang dari pihak penguasa.
Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-undang.
Dalam praktek kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan maknanya. Ketidakefektifan undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan kuantitas ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum, termasuk perilaku pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang menjamin kepastian dan keadilan dalam masyarakat.
Kepastian hukum dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena hukum. “Kepastian dalam hukum” dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum, di mana ketika dihadapkan dengan substansi norma hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda yang akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum.
Sedangkan “kepastian karena hukum” dimaksudkan, bahwa karena hukum itu sendirilah adanya kepastian, misalnya hukum menentukan adanya lembaga daluarsa, dengan lewat waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak. Berarti hukum dapat menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa akan mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan kehilangan sesuatu hak tertentu.
Hukum tidak identik dengan undang-undang, jika hukum diidentikkan dengan perundang-undangan, maka salah satu akibatnya dapat dirasakan, adalah kalau ada bidang kehidupan yang belum diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan hukum tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Demikian juga kepastian hukum tidak identik dengan dengan kepastian undang-undang. Apabila kepastian hukum diidentikkan dengan kepastian undang-undang, maka dalam proses penegakan hukum dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan hukum (Werkelijkheid) yang berlaku.
Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil yang ada dalam undang-undang (law in book’s), akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum harus memperhatikan budaya hukum (legal culture), untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam sistim hukum yang berlaku.
B.     Prinsip Penegakan Hukum
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi masyarakat.
Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan dua macam pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Melalui pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik. Dengan kata lain politik hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi jika hukum diharapkan mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Kepicikan pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa cakrawala wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan perasaan keadilan hukum masyarakat.
Substansi undang-undang sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu harus dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang. Semua peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan secara sektoral oleh departemen-departemen yang bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan ketentuan undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan undang-undang sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi rakyat, bahkan sering bertentangan.
Pada taraf dan situasi seperti ini, kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu sama dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum yang dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasional pun karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada selama ini. Hukum-hukum ekonomi, lalu lintas dan tata kota yang mendasarkan diri maksud-maksud pragmatis jelaslah kalau terlepas dari kesadaran moral tradisional.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.  Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Aristoteles dalam buah pikirannya “Ethica Nicomacea” dan “Rhetorica” mengatakan, hukum mempunyai tugas yang suci, yakni memberikan pada setiap orang apa yang berhak ia terima. Anggapan ini berdasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas hanya membuat adanya keadilan saja (Ethische theorie). Tetapi anggapan semacam ini tidak mudah dipraktekkan, maklum tidak mungkin orang membuat peraturan hukum sendiri bagi tiap-tiap manusia, sebab apabila itu dilakukan maka tentu tak akan habis-habisnya. Sebab itu pula hukum harus membuat peraturan umum, kaedah hukum tidak diadakan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu. Kaedah hukum tidak menyebut suatu nama seseorang tertentu, kaedah hukum hanya membuat  suatu kualifikasi tertentu. Kualifikasi tertentu itu sesuatu yang abstrak. Pertimbangan tentang hal-hal yang konkrit diserahkan pada hakim
C.    Nilai-Nilai Dasar Hukum
Berdasarkan anggapan tersebut di atas maka hukum tidak dapat kita tekankan pada suatu nilai tertentu saja, tetapi harus berisikan berbagai nilai, misalnya kita tidak dapat menilai sahnya suatu hukum dari sudut peraturannya atau kepastian hukumnya, tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai yang lain.
Radbruch mengatakan bahwa hukum itu harus memenuhi berbagai karya disebut sebagai nilai dasar dari hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah: keadilan, kegunaan dan kepastian hukum..  Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun di antara mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis (ketegangan), oleh karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan
Seandainya kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan. Karena yang penting pada nilai kepastian itu adalah peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Begitu juga jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi masyarakat. Demikian juga halnya jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum.  Dengan demikian kita harus dapat membuat kesebandingan di antara ketiga nilai itu atau dapat mengusahakan adanya kompromi secara proporsional serasi, seimbang dan selaras antara ketiga nilai tersebut.
Keabsahan berlakunya hukum dari segi peraturannya barulah merupakan satu segi, bukan merupakan satu-satunya penilaian, tetapi lebih dari itu sesuai dengan potensi ketiga nilai-nilai dasar yang saling bertentangan. Apa yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturannya, bisa saja dinilai tidak sah dari kegunaan atau manfaat bagi masyarakat.
Dalam menyesuaikan peraturan hukum dengan peristiwa konkrit atau kenyataan yang berlaku dalam masyarakat (Werkelijkheid), bukanlah merupakan hal yang mudah, karena hal ini melibatkan ketiga nilai dari hukum itu. Oleh karena itu dalam praktek tidak selalu mudah untuk mengusahakan kesebandingan antara ketiga nilai tersebut. Keadaan yang demikian ini akan memberikan pengaruh tersendiri terhadap efektivitas bekerjanya peraturan hukum dalam masyarakat. Misalnya; seorang pemilik rumah menggugat penyewa rumah ke pengadilan, karena waktu perjanjian sewa-menyewa telah lewat atau telah berakhir sesuai dengan waktu yang diperjanjikan. Tetapi penyewa belum dapat mengosongkan rumah tersebut karena alasan belum mendapatkan rumah sewa yang lain sebagai tempat penampungannya. Ditinjau dari sudut kepastian hukum, penyewa harus mengosongkan rumah tersebut karena waktu perjanjian sewa telah lewat sebagaimana yang telah diperjanjikan.
Apakah hal ini, dirasakan adil kalau si penyewa pada saat itu belum ada rumah lain untuk menampungnya? Dalam hal ini, hakim dapat memutuskan: memberi kelonggaran misalnya selama waktu 6 (enam) bulan kepada penyewa untuk mengosongkan rumah tersebut. Ini merupakan kompromi atau kesebandingan antara nilai kepastian hukum dengan nilai keadilan, begitu juga nilai manfaat atau kegunaan terasa juga bagi si penyewa yang harus mengosongkan rumah tersebut.
Adalah lazim bahwa kita melihat efektifitas bekerjanya hukum itu dari sudut peraturan hukumnya, sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah dan hubungan hukum antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu, didasarkan kepada peraturan hukumnya. Tetapi sebagaimana dicontohkan di atas, jika nilai kepastian hukum itu terlalu dipertahankan, maka ia akan menggeser nilai keadilan.
Kalau kita bicara tentang nilai kepastian hukum, maka sebagai nilai tuntutannya adalah semata-mata peraturan hukum positif atau peraturan perundang-undangan. Pada umumnya bagi praktisi hanya melihat pada peraturan perundang-undangan saja atau melihat dari sumber hukum yang formil.
Sebagaimana diketahui undang-undang itu, tidak selamanya sempurna dan tidak mungkin undang-undang itu dapat mengatur segala kebutuhan hukum dalam masyarakat secara tuntas. Adakalanya undang-undang itu tidak lengkap dan adakalanya undang-undang itu tidak ada ataupun  tidak sempurna. Keadaan ini tentunya menyulitkan bagi hakim untuk mengadili perkara yang dihadapinya. Namun, dalam menjalankan fungsinya untuk menegakkan keadilan, maka hakim tentunya tidak dapat membiarkan perkara tersebut terbengkalai atau tidak diselesaikan sama sekali.
D.    Sumber Wibawa Hukum
Dalam pikiran para yuris, proses peradilan sering hanya diterjemahkan sebagai suatu proses memeriksa dan mengadili secara penuh dengan berdasarkan hukum positif semata-mata. Pandangan yang formal legistis ini mendominasi pemikiran para penegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi undang-undang, itulah yang akan menjadi hukumnya.
Kelemahan utama pandangan ini adalah terjadinya penegakan hukum yang kaku, tidak diskresi dan cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum. Proses mengadili – dalam kenyataannya – bukanlah proses yuridis semata.
Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan bunyi undang-undang, melainkan proses yang melibatkan perilaku-perilaku masyarakat dan berlangsung dalam struktur sosial tertentu.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Marc Galanter di Amerika Serikat dapat menunjukkan bahwa suatu putusan hakim ibaratnya hanyalah pengesahan saja dari kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak. Dalam perspektif sosiologis, lembaga pengadilan merupakan lembaga yang multifungsi dan merupakan tempat untuk “record keeping”, “site of administrative processing”, “ceremonial changes of status”, “settlementnegotiation”, “mediations and arbitration”, dan warfare.
Produk dari pengadilan adalah putusan hakim. Dari sinilah awal dapat dibangunnya wibawa hukum. Dalam putusan hakim, wibawa hukum dipertaruhkan. Para petinggi hukum tidak perlu berteriak-teriak minta kepada masyarakat agar menghormati pengadilan. Cukuplah apabila pengadilan di tingkat PN, PT ataupun MA membuat putusan yang bermutu tinggi, maka rasa hormat itu akan datang dengan sendirinya.
Kiranya masyarakat dapat memberikan penilaian tersendiri terhadap mutu putusan para hakim. Haruslah disadari benar bahwa menegakkan wibawa pengadilan tidakah semudah membalik telapak tangan. Sistem peradilan di Indonesia yang merupakan warisan kolonial Belanda sedikit banyak menyulitkan dalam prakteknya. Sisa-sisa perilaku sebagai bangsa terjajah masih tampak di kalangan para hakim.Sebagai contoh, sampai saat ini kita masih bisa melihat digunakannya Osterman Arrest dari Hoge Raad Belanda sebagai contoh tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Dari sisi ini setidaknya kita dapat melihat adanya tiga hal, yaitu; pertama, hakim-hakim kita tidak mempunyai kepercayaan diri untuk mengutip yuriprudensi dari Mahkamah Agung Indonesia. Kedua, kemungkinan memang tidak ada putusan hakim (MA) yang dapat dianggap berkualitas kasus itu. Ketiga, menganggap yuriprudensi asing selalu lebih valid dan bermutu.
Munculnya kritik-kritik terhadap keberadaan lembaga peradilan tidak lain karena peradilan kita tidak dapat memberikan pengayoman kepada warga masyarakat. Putusan perngadilan yang diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu tidak dapat terpenuhi. Adanya isu mafia peradilan, keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa yang sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang), KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara, tidaklah muncul begitu saja. Kesemuanya ini merupakan “produk sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilan masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum yang tidak profesional maupun putusan hakim/putusan pengadilan yang semata-mata hanya berlandaskan pada aspek yuridis.
Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. Untuk menuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayoman masyarakat, maka pengadilan harus senantiasa mengedapkan empat tujuan hukum di atas dalam setiap putusan yang dibuatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi dasar berpijaknya hukum yaitu “hukum untuk kesejahteraan masyarakat”. Dengan demikian, pada akhirnya tidak hanya dikatakan sebagai Law and Order (Hukum dan Ketertiban) tetapi telah berubah menjadi Law, Order dan Justice (Hukum, Ketertiban, dan Ketentraman). Adanya dimensi keadilan dan ketentraman yang merupakan manifestasi bekerjanya lembaga pengadilan, akan semakin mendekatkan cita-cita pengadilan sebagai pengayom masyarakat




PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations), namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal structure).
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan
Nilai kepastian hukum, maka sebagai nilai tuntutannya adalah semata-mata peraturan hukum positif atau peraturan perundang-undangan. Pada umumnya bagi praktisi hanya melihat pada peraturan perundang-undangan saja atau melihat dari sumber hukum yang formil.
Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. Untuk menuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayoman masyarakat, maka pengadilan harus senantiasa mengedapkan empat tujuan hukum di atas dalam setiap putusan yang dibuatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi dasar berpijaknya hukum yaitu “hukum untuk kesejahteraan masyarakat”. Dengan demikian, pada akhirnya tidak hanya dikatakan sebagai Law and Order (Hukum dan Ketertiban) tetapi telah berubah menjadi Law, Order dan Justice (Hukum, Ketertiban, dan Ketentraman). Adanya dimensi keadilan dan ketentraman yang merupakan manifestasi bekerjanya lembaga pengadilan, akan semakin mendekatkan cita-cita pengadilan sebagai pengayom masyarakat





B.     SARAN
Berdasarkan simpulan diatas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:
·         Untuk Lembaga Penegak hukum
Tegakanlah hukum sesuai aturan yang berlaku tanpa pandang bulu sesuai dengan aturan yang berlaku dan sesuai UU
·         Untuk masyarakat
Patuhi lah segala peraturan yang berlaku diindonesia karena hukum ada untuk menentramkan bukan mengekang.

























DAFTAR PUSTAKA
Peters, AAG, dan Koesriani Siswosoebroto, 1990, Hukum dan Perkembangan Sosial Buku III, Jakarta, Sinar Harapan
Pujirahayu, Esmi Warassih, 2001, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum, Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan, Pidato Pengukuhan Guru Besar, UNDIP
World Bank, 2005, “Menciptakan Peluang Keadilan Laporan atas Studi “Village Justice in Indonesia” dan “Terobosan dalam Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi Hukum di Tingkat Lokal”, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993