MAKALAH
“Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan
Keadilan”
DOSEN
PENGAJAR :
H. Dian Agus Ruchliyadi S.Pd M.Pd
Di Susun Oleh :
Putri Intan Sari
1610112220019
(A1)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG
MANGKURAT
BANJARMASIN
2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robbil ‘Alami, Segala puji bagi Allah
SWT Tuhan Semesta Alam. Atas segala karunia nikmatNya sehingga saya dapat
menyusun makalah ini dengan sebaik baiknya. Makalah yang berjudul “Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan
Keadilan” disusun
dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Filsafat
Pancasila.
Makalah ini berisi tentang
penegakan hukum yang benar agar menciptakan keadilan. Meski telah disusun
secara maksimal, namun penulis sebagai manusia biasa menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari sempurna. Karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca sekalian.
Besar harapan saya makalah ini
dapat menjadi refrensi ataupun bahan bacaan bagi teman-teman mahasiswa maupun
masyarakat umum.
Demikian apa yang bisa saya
sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil manfaat dari karya ini.
Banjarmasin, Mei 2019
Penulis
DAFTAR ISI
COVER...............................................................................................................................
KATA
PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR
ISI.................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN..................................................................................................
A. Latar
Belakang..................................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah................................................................................................ 2
C. Tujuan
Penulisan.................................................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN...................................................................................................
A. Hukum
Sebagai Sistem........................................................................................ 3
B. Prinsip
Penegakan Hukum................................................................................... 5
C. Nilai-Nilai
Dasar Hukum...................................................................................... 7
D. Sumber Wibawa Hukum...................................................................................... 9
BAB III PENUTUP............................................................................................................
A. Kesimpulan.......................................................................................................... 12
B. Saran.................................................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penegakan
hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai
dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum.
Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku
manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan
yang telah disepakati bersama.
Oleh
karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses
menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum
mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat Penegakan Hukum Sebagai
Peluang (Zudan Arif Fakrulloh) tersebut,
karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan
pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa masalah-masalah hukum yang
akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the
books”.
Pada
saat ini dapat mengamati, melihat dan merasakan bahwa penegakan hukum berada
dalam posisi yang tidak menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja
aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafia peradilan,
pelanggaran hukum dalam penelilaan APBN dan APBD di kalangan birokrasi.
Daftar
ketidakpuasan masyarakat dalam penegakan hukum semakin bertambah panjang
apabila membuka kembali lembaran-lembaran lama seperti kasus Marsinah, kasus
wartawan Udin, kasus Sengkon dan Karta, kasus Tanah Keret di Papua dan
lain-lainnya.
Pengadilan
yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu
melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan
sosial dan pemberdayaan sosial melalui putusan-putusan hakimnya. Kegagalan
lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum diatas telah mendorong
meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan
lembaga-lembaga hukum. Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian
masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum telah berada pada titik nadir. Hampir
setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi, laporan atau ulasan yang
berhubungan dengan lembaga-lembaga hukum kita. Salah satu permasalahan yang
perlu mendapat perhatian kita semua adalah merosotnya rasa hormat masyarakat
terhadap wibawa hukum. Bagaimanapun juga masih banyak warga masyarakat yang
tetap menghormati putusan-putusan yang telah dibuat oleh penegak hukum.
Penegakan
hukum, tekanannya selalu diletakkan pada aspek ketertiban. Hal ini mungkin sekali
disebabkan oleh karena hukum diidentikkan dengan penegakan perundang-undangan,
asumsi seperti ini adalah sangat keliru sekali, karena hukum itu harus dilihat
dalam satu sistem, yang menimbulkan interaksi tertentu dalam berbagai unsur
sistem hukum.
Persoalannya
tidak akan berhenti hanya sebatas munculnya opini publik, melainkan berdampak
sangat luas yaitu merosotnya citra lembaga hukum di mata masyarakat.
Kepercayaan masyarakat akan luntur dan mendorong munculnya situasi anomi.
Masyarakat kebingungan nilai-nilai mana yang benar dan mana yang salah.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun yang akan dibahas pada makalah ini yaitu :
1.
Apa fungsi hukum sebagai subagai sistem?
2.
Apa prinsip penegakan hukum?
3.
Apa saja nilai-nilai dasar hukum?
4.
Darimana Sumber
Wibawa Hukum ?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk memenuhi
tugas mata kuliah Hukum Pidana
2. Menambah
wawasan bagi teman-teman mahasiswa dan masyarakat umum
3. Menambah
refrensi mahasiswa (i) dan masyarakat umum
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum
Sebagai Sistem
Sistem hukum tidak
hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations), namun
mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure)
yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living
law) dan budaya hukum (legal structure).
Menurut Lawrence
Friedman, unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal
structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).
Struktur hukum
meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga
terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain.
Sedangkan substansi
hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang.
Budaya hukum adalah
meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai
pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan
perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang
bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.
Tanpa budaya hukum
sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di
keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (without legal
culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living
fish swimming in its sea). Setiap
masyarakat, negara dan komunitas mempunyai budaya hukum. Selalu ada sikap dan
pendapat mengenai hukum. Hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dalam satu
komunitas memberikan pemikiran yang sama.
Banyak sub budaya
dari suku-suku yang ada, agama, kaya, miskin, penjahat dan polisi mempunyai
budaya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Yang paling menonjol
adalah budaya hukum dari orang dalam, yaitu hakim dan penasehat hukum yang
bekerja di dalam sistem hukum itu sendiri, karena sikap mereka membentuk banyak
keragaman dalam sistem hukum. Setidak-tidaknya kesan ini akan mempengaruhi
penegakan hukum dalam masyarakat.
Hukum adalah
kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control), sebagai
aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna
atau mencegah perilaku yang buruk. Di
sisi lain kontrol sosial adalah jaringan atau aturan dan proses yang menyeluruh
yang membawa akibat hukum terhadap perilaku tertentu, misalnya aturan umum
perbuatan melawan hukum. Tidak ada cara
lain untuk memahami sistem hukum selain melihat perilaku hukum yang dipengaruhi
oleh aturan keputusan pemerintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang. Jika seseorang berperilaku secara khusus adalah karena
diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah atau pejabat lainnya atau
dalam sistem hukum.
Tetapi kita juga
membutuhkan kontrol sosial terhadap pemerintah, karena tidak dapat kita
pungkiri, bahwa tiada kuda tanpa kekang. Begitu juga tiada penguasa dan
aparaturnya yang bebas dari kontrol sosial. Semua tahu ada orang yang berwenang
menyalahgunakan jabatannya, praktek suap dan KKN sering terjadi dalam tirani
birokrat.
Maka untuk
memperbaiki harus ada kontrol yang dibangun dalam sistem. Dengan kata lain,
hukum mempunyai tugas jauh mengawasi penguasa itu sendiri, kontrol yang
dilakukan terhadap pengontrol. Pemikiran ini berada di balik pengawasan dan
keseimbangan (check and balance) dan di balik Peradilan Tata Usaha Negara,
Inspektur Jenderal, Auditur dan lembaga-lembaga seperti, KPK, Komisi Judisial.
Kesemuanya ini harus mempunyai komitmen yang tinggi untuk memberantas segala
bentuk penyalahgunaan wewenang dari pihak penguasa.
Hukum akan menjadi
berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat
menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas
hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini
berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai
universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-undang.
Dalam praktek kita
melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada undang-undang yang
tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap orang tidak mematuhi
undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan maknanya. Ketidakefektifan
undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan kuantitas ketidakpatuhan
serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum, termasuk perilaku pelanggar
hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang menjamin kepastian
dan keadilan dalam masyarakat.
Kepastian hukum
dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan
kepastian karena hukum. “Kepastian dalam hukum” dimaksudkan bahwa setiap norma
hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak
mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa perilaku patuh
atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul
peristiwa-peristiwa hukum, di mana ketika dihadapkan dengan substansi norma
hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga
timbul penafsiran yang berbeda-beda yang akibatnya akan membawa kepada
ketidakpastian hukum.
Sedangkan
“kepastian karena hukum” dimaksudkan, bahwa karena hukum itu sendirilah adanya
kepastian, misalnya hukum menentukan adanya lembaga daluarsa, dengan lewat
waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak. Berarti hukum dapat
menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa akan
mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan kehilangan sesuatu hak tertentu.
Hukum tidak identik
dengan undang-undang, jika hukum diidentikkan dengan perundang-undangan, maka
salah satu akibatnya dapat dirasakan, adalah kalau ada bidang kehidupan yang
belum diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan hukum tertinggal oleh
perkembangan masyarakat. Demikian juga kepastian hukum tidak identik dengan
dengan kepastian undang-undang. Apabila kepastian hukum diidentikkan dengan
kepastian undang-undang, maka dalam proses penegakan hukum dilakukan tanpa
memperhatikan kenyataan hukum (Werkelijkheid) yang berlaku.
Para penegak hukum
yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil yang ada dalam
undang-undang (law in book’s), akan cenderung mencederai rasa keadilan
masyarakat. Seyogyanya penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada
hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum harus
memperhatikan budaya hukum (legal culture), untuk memahami sikap, kepercayaan,
nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam sistim hukum
yang berlaku.
B.
Prinsip
Penegakan Hukum
Penegakan hukum
pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi
masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan
hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita
pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil,
begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu
berguna bagi masyarakat.
Dalam kondisi yang
demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu
adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan
apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa
pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis,
mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan
masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan
yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya
kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Sebaiknya mekanisme
dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau pembentukan undang-undang
baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya
resistensi dari masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan dua macam
pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Melalui pendekatan
sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus dilihat
secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan dimensi-dimensi
geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik. Dengan kata
lain politik hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya,
apalagi jika hukum diharapkan mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial.
Kepicikan pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan penertib
saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan
melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa cakrawala wawasan dan pandangan
sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan perasaan keadilan hukum
masyarakat.
Substansi
undang-undang sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk
itu harus dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan
sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang. Semua
peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan secara sektoral oleh departemen-departemen
yang bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan ketentuan undang-undang.
Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan undang-undang sering tidak berpijak
pada dasar moral yang dikukuhi rakyat, bahkan sering bertentangan.
Pada taraf dan
situasi seperti ini, kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak akan
lagi selalu sama dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum yang
dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasional pun
karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya dipungut
begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada selama ini. Hukum-hukum
ekonomi, lalu lintas dan tata kota yang mendasarkan diri maksud-maksud
pragmatis jelaslah kalau terlepas dari kesadaran moral tradisional.
Dalam pelaksanaan
penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik
dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan
siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan
tidak menyamaratakan. Adil bagi
seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Aristoteles dalam
buah pikirannya “Ethica Nicomacea” dan “Rhetorica” mengatakan, hukum mempunyai
tugas yang suci, yakni memberikan pada setiap orang apa yang berhak ia terima.
Anggapan ini berdasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas hanya
membuat adanya keadilan saja (Ethische theorie). Tetapi anggapan semacam ini
tidak mudah dipraktekkan, maklum tidak mungkin orang membuat peraturan hukum
sendiri bagi tiap-tiap manusia, sebab apabila itu dilakukan maka tentu tak akan
habis-habisnya. Sebab itu pula hukum harus membuat peraturan umum, kaedah hukum
tidak diadakan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu. Kaedah hukum tidak
menyebut suatu nama seseorang tertentu, kaedah hukum hanya membuat suatu kualifikasi tertentu. Kualifikasi
tertentu itu sesuatu yang abstrak. Pertimbangan tentang hal-hal yang konkrit
diserahkan pada hakim
C.
Nilai-Nilai
Dasar Hukum
Berdasarkan
anggapan tersebut di atas maka hukum tidak dapat kita tekankan pada suatu nilai
tertentu saja, tetapi harus berisikan berbagai nilai, misalnya kita tidak dapat
menilai sahnya suatu hukum dari sudut peraturannya atau kepastian hukumnya,
tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai yang lain.
Radbruch mengatakan
bahwa hukum itu harus memenuhi berbagai karya disebut sebagai nilai dasar dari
hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah: keadilan, kegunaan dan kepastian
hukum.. Sekalipun ketiga-tiganya itu
merupakan nilai dasar dari hukum, namun di antara mereka terdapat suatu
Spannungsverhaltnis (ketegangan), oleh karena di antara ketiga nilai dasar
hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya,
sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan
Seandainya kita
lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut
peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan
kegunaan. Karena yang penting pada nilai kepastian itu adalah peraturan itu
sendiri. Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan berguna
bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Begitu juga
jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan saja, maka sebagai
nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena
yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut
bermanfaat atau berguna bagi masyarakat. Demikian juga halnya jika kita hanya
berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai
kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada
kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang
dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum. Dengan demikian kita harus dapat membuat
kesebandingan di antara ketiga nilai itu atau dapat mengusahakan adanya
kompromi secara proporsional serasi, seimbang dan selaras antara ketiga nilai
tersebut.
Keabsahan
berlakunya hukum dari segi peraturannya barulah merupakan satu segi, bukan
merupakan satu-satunya penilaian, tetapi lebih dari itu sesuai dengan potensi
ketiga nilai-nilai dasar yang saling bertentangan. Apa yang sudah dinilai sah
atas dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturannya, bisa saja
dinilai tidak sah dari kegunaan atau manfaat bagi masyarakat.
Dalam menyesuaikan
peraturan hukum dengan peristiwa konkrit atau kenyataan yang berlaku dalam
masyarakat (Werkelijkheid), bukanlah merupakan hal yang mudah, karena hal ini
melibatkan ketiga nilai dari hukum itu. Oleh karena itu dalam praktek tidak
selalu mudah untuk mengusahakan kesebandingan antara ketiga nilai tersebut.
Keadaan yang demikian ini akan memberikan pengaruh tersendiri terhadap
efektivitas bekerjanya peraturan hukum dalam masyarakat. Misalnya; seorang
pemilik rumah menggugat penyewa rumah ke pengadilan, karena waktu perjanjian
sewa-menyewa telah lewat atau telah berakhir sesuai dengan waktu yang
diperjanjikan. Tetapi penyewa belum dapat mengosongkan rumah tersebut karena
alasan belum mendapatkan rumah sewa yang lain sebagai tempat penampungannya.
Ditinjau dari sudut kepastian hukum, penyewa harus mengosongkan rumah tersebut
karena waktu perjanjian sewa telah lewat sebagaimana yang telah diperjanjikan.
Apakah hal ini,
dirasakan adil kalau si penyewa pada saat itu belum ada rumah lain untuk
menampungnya? Dalam hal ini, hakim dapat memutuskan: memberi kelonggaran
misalnya selama waktu 6 (enam) bulan kepada penyewa untuk mengosongkan rumah
tersebut. Ini merupakan kompromi atau kesebandingan antara nilai kepastian
hukum dengan nilai keadilan, begitu juga nilai manfaat atau kegunaan terasa
juga bagi si penyewa yang harus mengosongkan rumah tersebut.
Adalah lazim bahwa
kita melihat efektifitas bekerjanya hukum itu dari sudut peraturan hukumnya,
sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah dan hubungan hukum antara para
pihak yang mengadakan perjanjian itu, didasarkan kepada peraturan hukumnya.
Tetapi sebagaimana dicontohkan di atas, jika nilai kepastian hukum itu terlalu
dipertahankan, maka ia akan menggeser nilai keadilan.
Kalau kita bicara
tentang nilai kepastian hukum, maka sebagai nilai tuntutannya adalah
semata-mata peraturan hukum positif atau peraturan perundang-undangan. Pada
umumnya bagi praktisi hanya melihat pada peraturan perundang-undangan saja atau
melihat dari sumber hukum yang formil.
Sebagaimana
diketahui undang-undang itu, tidak selamanya sempurna dan tidak mungkin
undang-undang itu dapat mengatur segala kebutuhan hukum dalam masyarakat secara
tuntas. Adakalanya undang-undang itu tidak lengkap dan adakalanya undang-undang
itu tidak ada ataupun tidak sempurna.
Keadaan ini tentunya menyulitkan bagi hakim untuk mengadili perkara yang
dihadapinya. Namun, dalam menjalankan fungsinya untuk menegakkan keadilan, maka
hakim tentunya tidak dapat membiarkan perkara tersebut terbengkalai atau tidak
diselesaikan sama sekali.
D.
Sumber Wibawa Hukum
Dalam pikiran para
yuris, proses peradilan sering hanya diterjemahkan sebagai suatu proses
memeriksa dan mengadili secara penuh dengan berdasarkan hukum positif
semata-mata. Pandangan yang formal legistis ini mendominasi pemikiran para
penegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi undang-undang, itulah yang akan
menjadi hukumnya.
Kelemahan utama
pandangan ini adalah terjadinya penegakan hukum yang kaku, tidak diskresi dan
cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat karena lebih mengutamakan
kepastian hukum. Proses mengadili – dalam kenyataannya – bukanlah proses yuridis
semata.
Proses peradilan
bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan bunyi undang-undang, melainkan
proses yang melibatkan perilaku-perilaku masyarakat dan berlangsung dalam struktur
sosial tertentu.
Penelitian yang
telah dilakukan oleh Marc Galanter di Amerika Serikat dapat menunjukkan bahwa
suatu putusan hakim ibaratnya hanyalah pengesahan saja dari kesepakatan yang
telah dicapai oleh para pihak. Dalam perspektif sosiologis, lembaga pengadilan
merupakan lembaga yang multifungsi dan merupakan tempat untuk “record keeping”,
“site of administrative processing”, “ceremonial changes of status”,
“settlementnegotiation”, “mediations and arbitration”, dan warfare.
Produk dari pengadilan
adalah putusan hakim. Dari sinilah awal dapat dibangunnya wibawa hukum. Dalam
putusan hakim, wibawa hukum dipertaruhkan. Para petinggi hukum tidak perlu berteriak-teriak
minta kepada masyarakat agar menghormati pengadilan. Cukuplah apabila
pengadilan di tingkat PN, PT ataupun MA membuat putusan yang bermutu tinggi,
maka rasa hormat itu akan datang dengan sendirinya.
Kiranya masyarakat
dapat memberikan penilaian tersendiri terhadap mutu putusan para hakim.
Haruslah disadari benar bahwa menegakkan wibawa pengadilan tidakah semudah
membalik telapak tangan. Sistem peradilan di Indonesia yang merupakan warisan
kolonial Belanda sedikit banyak menyulitkan dalam prakteknya. Sisa-sisa
perilaku sebagai bangsa terjajah masih tampak di kalangan para hakim.Sebagai
contoh, sampai saat ini kita masih bisa melihat digunakannya Osterman Arrest
dari Hoge Raad Belanda sebagai contoh tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Dari sisi ini
setidaknya kita dapat melihat adanya tiga hal, yaitu; pertama, hakim-hakim kita
tidak mempunyai kepercayaan diri untuk mengutip yuriprudensi dari Mahkamah
Agung Indonesia. Kedua, kemungkinan memang tidak ada putusan hakim (MA) yang
dapat dianggap berkualitas kasus itu. Ketiga, menganggap yuriprudensi asing
selalu lebih valid dan bermutu.
Munculnya
kritik-kritik terhadap keberadaan lembaga peradilan tidak lain karena peradilan
kita tidak dapat memberikan pengayoman kepada warga masyarakat. Putusan perngadilan
yang diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu tidak
dapat terpenuhi. Adanya isu mafia peradilan, keadilan dapat dibeli, munculnya
bahasa-bahasa yang sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin
Menang), KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara, tidaklah muncul
begitu saja. Kesemuanya ini merupakan “produk sampingan” dari bekerjanya
lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari
rasa keadilan masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum yang
tidak profesional maupun putusan hakim/putusan pengadilan yang semata-mata
hanya berlandaskan pada aspek yuridis.
Berlakunya hukum di
tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian
hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. Untuk menuju
pada cita-cita pengadilan sebagai pengayoman masyarakat, maka pengadilan harus
senantiasa mengedapkan empat tujuan hukum di atas dalam setiap putusan yang
dibuatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi dasar berpijaknya hukum
yaitu “hukum untuk kesejahteraan masyarakat”. Dengan demikian, pada akhirnya
tidak hanya dikatakan sebagai Law and Order (Hukum dan Ketertiban) tetapi telah
berubah menjadi Law, Order dan Justice (Hukum, Ketertiban, dan Ketentraman).
Adanya dimensi keadilan dan ketentraman yang merupakan manifestasi bekerjanya
lembaga pengadilan, akan semakin mendekatkan cita-cita pengadilan sebagai pengayom
masyarakat
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Sistem hukum tidak hanya mengacu pada
aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations), namun mencakup bidang yang
luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta
terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal
structure).
Penegakan hukum pada prinsipnya harus
dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di
samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai
suatu keadilan
Nilai kepastian hukum, maka sebagai
nilai tuntutannya adalah semata-mata peraturan hukum positif atau peraturan
perundang-undangan. Pada umumnya bagi praktisi hanya melihat pada peraturan
perundang-undangan saja atau melihat dari sumber hukum yang formil.
Berlakunya hukum di
tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian
hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. Untuk menuju
pada cita-cita pengadilan sebagai pengayoman masyarakat, maka pengadilan harus
senantiasa mengedapkan empat tujuan hukum di atas dalam setiap putusan yang
dibuatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi dasar berpijaknya hukum
yaitu “hukum untuk kesejahteraan masyarakat”. Dengan demikian, pada akhirnya
tidak hanya dikatakan sebagai Law and Order (Hukum dan Ketertiban) tetapi telah
berubah menjadi Law, Order dan Justice (Hukum, Ketertiban, dan Ketentraman).
Adanya dimensi keadilan dan ketentraman yang merupakan manifestasi bekerjanya
lembaga pengadilan, akan semakin mendekatkan cita-cita pengadilan sebagai pengayom
masyarakat
B.
SARAN
Berdasarkan
simpulan diatas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:
·
Untuk Lembaga Penegak hukum
Tegakanlah hukum sesuai aturan yang
berlaku tanpa pandang bulu sesuai dengan aturan yang berlaku dan sesuai UU
·
Untuk masyarakat
Patuhi lah segala peraturan yang
berlaku diindonesia karena hukum ada untuk menentramkan bukan mengekang.
DAFTAR PUSTAKA
Peters, AAG, dan Koesriani Siswosoebroto,
1990, Hukum dan Perkembangan Sosial Buku
III, Jakarta, Sinar Harapan
Pujirahayu, Esmi Warassih, 2001, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan
Tujuan Hukum, Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan, Pidato Pengukuhan
Guru Besar, UNDIP
World
Bank, 2005, “Menciptakan Peluang Keadilan
Laporan atas Studi “Village Justice in Indonesia” dan “Terobosan dalam
Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi Hukum di Tingkat Lokal”, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Yoyakarta: Citra Aditya Bakti,
1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar